Senin, 17 Desember 2012

Berlayar Tanpa Berlabuh

Kamu tahu betapa sulitnya menggapaimu
Kamu dan aku bagaikan langit dan bumi
Kita tak sama jauh berbeda
Aku tahu kamu sudah dengannya

Aku juga tak tahu bagaimana bisa terjebak
Aku juga tak pernah menyangka seperti ini
Padahal awalnya kita sudah punya pelabuhan masing-masing
Atau mungkin kita terlambat bertemu

Aku tahu takkan bisa, takkan pernah bisa
Kalau bisa aku minta, bekukan perasaan ini untukmu
Kalau aku bisa, aku akan memutar kembali waktu
Untuk tak begini, agar aku hanya jadi temanmu, tak lebih

Sabtu, 17 November 2012

Kerlap-Kerlip Cahaya

Saat malam tiba seberkas cahaya itu datang
Sorotannya tak bisa dihindari
Ke manapun kuberlari
Tetap saja tak terlewati

Aku senang dapat melihatnya
Kerlap-kerlip cahaya menawan
Terasa damai diri ini ketika melihatnya
Seakan mengerti isi hati

Tak pernah jenuh aku menatapnya
Warna-warni cahaya itu mengiringi langkahku
Sampai inginku terbang bersama nyala cahaya itu
Diiringi rintik-rintik hujan dan wangi udara malam

Hai kerlap-kerlap cahaya
Bawa aku sejauh mungkin
Melayang bersamamu
Menghabiskan waktu

Tertawa bersamamu
Menangis bersamamu
Bercanda bersamamu
Mencurahkan semua kepadamu

Aku ingin berada sejauh mungkin
Berada dalam kesunyian
Yang ada hanyalah diriku
Bersamamu, kerlipan cahaya

Hari Ini Terdramatis

Holaaa, back again with me. After long holiday. Yes, finally, I can update posting at this moment.

Hari ini, 17 November 2012, adalah hari terdramatis. Hari nano-nano kedua setelah postingan sebelumnya What a Nano-Nano Day!.

Oh iya, sebelumnya, hanya bermaksud memberi tahu bahwa hari ini tepat sebulan kepergian Kakek saya. Semoga beliau tenang di sisi-Nya. And someday, I'll meet him in heaven. Aamiin.

Kenapa hari ini saya bilang hari terdramatis? Karena ada beberapa hal yang membuat hari ini dramatis. And here it is:

1. Watching Detective Conan Movie: The Magician of Silver Sky

Nah, buat para pencinta anime, especially Detective Conan, kalian harus nonton film ini. Well, walaupun ini bukan film terbaru versi movie, tetap wajib kalian tonton. Ceritanya itu berbagai genre. Romantis, iya. Menegangkan, iya. Klimaks banget, iya. Seru, pasti. Dan yang pasti lagi itu... galau, iya.

2. Quote in Timeline Twitter

Nah, ini nih mulai-mulai klimaksnya hari terdramatisir versi saya. Jadi kronologinya tuh begini. Buka twitter. Cek TL diri sendiri. Nemu quote tersebut. Retweet. Baru sadar kalau quote itu menggambarkan diri sendiri. Agak ironis sih, tapi jujur itu ngena banget. Biar lebih jelas, saya akan perlihatkan dengan gambar.

 
Silahkan resapi sendiri

 
*jleb*

Ditambah lagi, bukan cuma twitter itu yang nge-tweet quote begitu. My mom had said, "Dari curhat itu biasanya timbul rasa simpati yang lama-kelamaan akan timbul rasa yang lebih dari pada itu."

"..." Saya hanya bisa diam tak berkomentar apapun. Sepertinya omongan Ibu saya terbukti. Dan beliau tidak mengetahui bahwa omongannya terbukti terhadap anaknya sendiri. Sungguh ironis.

3. Dramatis Sedramatis

Nah, ini benar-benar bagian ter... Ya, kalian tahu sendiri kok. Sebenarnya ini agak sedikit... absurd. Ya, sebenarnya ini juga spontanitas dari pikiran saya. Bingung ya? Sama. Oke oke. Jadi begini... Tukang mie tek-tek langganan rumah lewat dan ternyata Ibu saya minta tolong panggilin. Ketika saya keluar rumah, itu pas banget lagi hujan. Karena itu tukang mie tek-tek udah jauh, mau nggak mau saya harus mengejar. Nah, di sini adegan yang paling bikin saya geli sendiri (silahkan bayangkan sesuai imajinasi masing-masing). Pas saya lari, hujan perlahan semakin deras dan saya berusaha menepuk memanggil tukang mie tek-tek. Sembari menunggu tukang mie tek-tek di persimpangan jalan, entah kenapa otak saya berpikir spontan dan saya pun bergumam, "Dramatis banget ini. Berdiri di persimpangan jalan saat hujan dalam keadaan menunggu." Sayangnya, yang saya tunggu itu tukang mie tek-tek. Padahal berharapnya sih... Sudahlah, saya rasa postingan kali ini sudah mulai ngaco. Jadi lebih baik saya sudahi saja postingan kali ini. See you latter~

Minggu, 11 November 2012

What a Nano-Nano Day!

Hai... Hai... Setelah sekian lama nggak blogging, akhirnya... bisa juga cari waktu luang untuk aktivitas yang satu ini.

Oh iya, just a little note, sebenarnya pengalaman ini terjadi sekitar 3-4 mingu yang lalu. Berhubung jadwal padat, akhirnya baru sempat diposting sekarang. Enjoy read.

Sebenarnya pengalaman ini termasuk... konyol sih. Tapi, di balik kekonyolan tersebut ada sebuah makna tersirat yang sangat berarti (uhuk).

Jadi, kejadiannya itu tepat saat shalat ashar. Kebetulan, pada hari itu saya juga les bersama teman saya. Seperti biasa, sebelum berangkat ke TKP, kami melaksanakan shalat terlebih dahulu. Sebelum kami shalat, terjadi percakapan seperti berikut:

S (Saya), TS (Teman Saya)
S: Jama'ah atau munfarid?
TS: Nggak tau deh. Itu kira-kira suara imamnya terdengar nggak ya?
S: *ragu-ragu* Kayaknya munfarid aja deh. Soalnya takut nggak terdengar suaranya.

Setelah percakapan terjadi, tanpa pikir panjang kami langsung melaksanakan shalat masing-masing. Nah, di sinilah kejadian itu dimulai.

Saat baru memulai shalat raka'at pertama, saya merasa bahu saya ditepuk oleh adik kelas. Saya pikir, mungkin dia nggak sengaja. Akhirnya saya melanjutkan shalat saya. Lama-kelamaan, saya merasakan ada hal yang janggal. Entah kenapa adik kelas itu mengikuti gerak-gerik saya saat shalat dan itu membuat saya sempat berpikir apakah saya jadi imam? Tapi saya berpikir lagi, posisi saya di sebelah kanan adik kelas dan yang saya tahu posisi imam itu ada di sebelah kiri. Saya pun berusaha menghilangkan pikiran-[ikiran yang sempat mengganggu konsentrasi saya. Hingga raka'at terkahir...

S: Wi, aku merasa ada yang aneh deh sama adik kelas itu. Kok mereka ngikutin gerakan shalatku ya?
TS: Mungkin kamu jadi imam.
S: Tapi kan posisiku di sebelah kanan. Memangnya bisa?
TS: Iya juga sih.
S: Ada yang aneh lagi. Mereka sempat nepuk bahuku.
TS: Itu tandanya kamu jadi imam.
S: ...

Setelah mendengar jawaban terakhir teman saya, saya benar-benar speechless. Dalam hati, saya bergumam, "Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini yang telah salah menjadi imam."

Jujur, saat itu, sebelum teman saya memberitahu, saya benar-benar tidak tahu kalau ada seseorang menepuk bahu itu adalah pertanda bahwa dia menunjuk orang tersebut menjadi imam. Betapa bersalahnya saya. Ya, kenapa saya sangat merasa bersalah? Alasan yang paling kuat adalah... ini bukanlah sekedar urusan dunia dan hablum minannas, tapi juga menyangkut akhirat dan hablum minallah. Walaupun sebenarnya saat itu yang saya lakukan masuk kategori tidak sengaja karena ketidaktahuan saya. Namun, tetap saja, hati saya tidak bisa mengelak atas rasa bersalah ini. Akhirnya, saya bersama teman saya menghampiri adik kelas itu dan meminta maaf atas kesalahan saya. Sebenarnya, saat bagian ini, agak sedikit... lucu sih. Ya, you know what I mean.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Lalu? Kamu Merasa Hebat?

Aku tahu dirimu adalah tuan puteri
Yang setiap pagi selalu diberi
Aku tahu kamu punya segalanya
Bahkan kamu bisa membeli dunia

Setiap alunan langkahmu dikawal
Berjalan layaknya lembayung senja
Menebar senyum penuh harapan semu
Berpura-pura seolah dirimu polos

Kamu bisa berbuat sesukamu
Kamu bisa menaklukan dunia dan isinya
Kamu bisa mendapatkan seorang impian
Kamu bisa merebut yang bukan milikmu

Tapi ingatlah
Kamu bukanlah orang sportif
Yang mendapatkan mimpimu
Dengan caramu sendiri

Kamu meraihnya dengan faktor luar
Bukan faktor dalam dirimu
Lantas kamu merasa hebat
Dan menganggap dunia ini milikmu

Salah besar
Sebenarnya kamu hanyalah orang lemah
Yang bersembunyi dalam kereta kencana
Tidaklah bangsawan atau permaisuri

Kamis, 25 Oktober 2012

Simfoni Hitam - Sherina

Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan kita bersama
Namun slalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu

Di hatiku terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun slalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu

Tlah kunyanyikan alunan-alunan senduku
Tlah kubisikkan cerita-cerita gelapku
Tlah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa kutakkan bisa sentuh hatimu

Bila saja kau di sisiku
Kan kuberi kau segalanya
Namun tak henti aku bertanya
Adakah aku di rindumu

Tlah kunyanyikan alunan-alunan senduku
Tlah kubisikkan cerita-cerita gelapku
Tlah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa kutakkan bisa sentuh hatimu

Tak bisakah kau sedikit saja dengar aku
Dengar simfoniku, simfoni hanya untukmu

Tlah kunyanyikan alunan-alunan senduku
Tlah kubisikkan cerita-cerita gelapku
Tlah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa kutakkan bisa sentuh hatimu

Senin, 15 Oktober 2012

Dalam Diam

Mungkin selama ini kamu tak tahu
Di dalam diamku ada sebuah tanya
Atau mungkin kamu memang sengaja
Mengabaikan dan diam sepertiku

Mungkin selama ini kamu tak sadar
Di dalam diamku ada sebuah kata
Namun sepertinya kamu tetap tak sadar
Dan bahkan sepertiku diam berkata

Jauh di dalam harapku aku memohon
Agar dirimu segera melihat
Bahwa dalam diamku ada sebuah makna
Yang mungkin kamu tak pernah tahu

Sekarang aku baru mengerti
Aku dan kamu sama-sama terdiam
Dan di dalam diam itu
Aku dan kamu memiliki maksud sendiri

Minggu, 14 Oktober 2012

Kita Tak Sama

Aku hanya bisa melihat
Aku hanya bisa tersenyum
Aku hanya bisa menyapa
Aku hanya bisa semampuku

Jadi temanmu adalah anugerah
Tapi tidak ketika rasa itu datang
Menusuk relung menyayat ngilu
Sesak penuh tak terbendung

Kita takkan bisa
Kita tak sama
Sampai kapanpun
Takkan pernah

Sabtu, 13 Oktober 2012

VN (Vira's Notes): Rasa Yang Diabaikan

"Yang aku ingin hanyalah pengertianmu. Tuk sedikit saja pahami maksudku. Yang aku ingin hanyalah agar kau mau sekedar... Mengerti aku."

Itulah petikan lagu Abdul and The Coffee Theory - Agar Kau Mengerti.

Oh iya, aku belum berkenalan dengan kalian. Hai, namaku Vira. Kalau ada di antara kalian yang mengira aku adalah anak sekolah atau mahasiswa, itu salah besar. Aku adalah seorang pegawai freelance. Sudahlah, perkenalan selebihnya aku rasa tidak penting.

Hm, pernahkah di antara kalian merasakan ada sebuah rasa terhadap seseorang? Aku yakin jawabannya 'ya', walaupun mungkin sebagian kecil menjawab 'tidak'. Aku tahu pertanyaanku tadi terlalu klasik. Mungkin pertanyaanku kali ini (bisa dibilang) klasik, tapi aku yakin tak semua orang merasakan ini.

Bagaimana kalau kalian menyukai seseorang yang memang awalnya hanya teman biasa? Tidak hanya itu, di satu sisi, kalian mengetahui kalau teman kalian itu bukanlah orang yang patut untuk disukai dan bukanlah orang yang baik untuk kalian. Pernahkah kalian merasakan itu?

Aku sadar semua ini berawal karena kesalahanku. Kesalahanku yang terlalu berani untuk menyelami dunianya. Terlalu dalam sehingga aku terbawa arusnya. Tak ayal, penyesalan itu selalu datang di akhir.

Bagaimana dengan 'dirinya'? Apakah dia mengetahuinya? Tidak, dia tidak boleh tahu ini sedikitpun. Tidak akan!

Memang kelihatannya tidak adil. Aku yang harus menanggung akibatnya sendiri. Mungkin seharusnya dia tahu. Tidak, aku yakin kalau inilah yang terbaik untuk aku dan dirinya. Aku tidak ingin jadi 'orang ketiga' dalam hal ini. Cukup. Ini memang salahku.

Yang harus kulakukan hanya mengabaikannya. Ya, cukup mengabaikannya. Aku tahu ini tidak semudah yang kutulis dalam buku harian ini, tapi aku yakin bahwa aku bisa melalui semua ini.

Ini bukanlah sesuatu yang rumit. Ini hanya tentang sebuah kecelakaan (rasa) yang terjadi karena terlalu menyelami. Rasa yang (harus) diabaikan.

Senin, 08 Oktober 2012

The Benefits

Everything has benefits, although it also has weakness.

Ya, setiap sesuatu pasti punya manfaat dan kekurangan. Itu pasti.

Mungkin saya nggak akan bertele-tele khusus untuk posting kali ini. Karena sebenarnya posting ini hanya sebagian curahan perasaan (?) Sudahlah, tidak terlalu penting.

Mungkin, saya tidak akan menjelaskan secara detail di sini, tetapi intinya saja.

Bad score. Yes. Everyone has got bad score in their life, including me. Ya, setiap orang pasti pernah mengalami hal itu, dan hal yang tadi disebutkan itu sedang saya alami.

But, when I got bad score one year ago, I feel that I get the knowledge.

Ya, walaupun saya dapat nilai jelek, tapi saya merasa saya dapat ilmunya. Well, it's not mean that I'm not down. Who says? Saya juga sempat down, tapi entah kenapa saya merasa bahwa di satu sisi lain saya mendapat ilmu itu dan saya paham. For me, that's good thing. Buat saya pribadi, itu adalah hal yang membanggakan. Karena dari sanalah kita mendapatkan intisari yang kita cari selain sebuah nilai.

Ya, sesuai janji saya tadi, nggak akan bertele-tele, mungkin cukup sekian posting kali ini. I hope I can through this problem in my life. Maybe this is... Trials of life. But I believe that Allah doesn't give difficult trials of life to people. I believe I can through and pass from this because Allah. Aamiin.

Minggu, 07 Oktober 2012

Terlambat

Satu kata untukmu
Terlambat
Dan kamu berkata
"Aku juga tak mau seperti ini"

Ya, siapa yang mau seperti itu?
Semua orang juga tak mau sepertimu
Yang tersisa tinggalah kepingan sesal
Merutuki sesak di dada

Sebenarnya kamu juga tak ingin ini terjadi
Karena ini bukanlah pilihanmu
Semuanya datang begitu saja
Tanpa sebab alasan yang jelas

Sekarang kamu hanya bisa menahan sesakmu
Berusaha tegar di tepi tebing tinggi
Menahan semua yang ada dalam dirimu
Hingga kamu bisa meninggalkannya

Jumat, 05 Oktober 2012

Terima atau Tolak

Malang sekali nasibmu
Ternyata kamu belum bisa
Sepenuhnya lepas dari memori itu
Ya memang itu karena salahmu
Ya memang itu akibat perbuatanmu

Malang sekali nasibmu
Sekarang kamu malah terjebak
Dalam roda dirimu sendiri
Mencoba berlepas diri
Belenggu itu tetap datang menghampiri

Hanya ada dua pilihan untukmu
Terima semua ini
Atau tolak sebisamu
Sejauh mungkin untukmu
Agar kamu bisa meringankan beban hatimu

Mungkin kamu bisa berbohong
Tapi tidak untuk diri dan hatimu
Sudahlah akui saja
Untuk apa membohongi diri
Kalau nanti berujung pada duri

Mungkin lebih baik kamu dengannya
Jadi tolaklah sekarang apa yang terjadi
Karena kamu pun tahu
Bahwa memori itu tak baik untukmu
Memori itu tak pantas singgah di hidupmu

Minggu, 30 September 2012

Surat Hati Kecil Ranasya: Teruntuk Sahabat

Surat ini Rana tulis khusus untuk sahabat Rana.

Sahabat, Rana mau bertanya, sahabat marah ya sama Rana? Sahabat marah ya karena Rana memberitahu berita buruk bagi sahabat? Ketahuilah sahabat. Rana memberitahukan kepada sahabat karena Rana tidak mau sahabat terjerumus ke dalam jurang. Rana sadar, memberitahukan hal ini sama saja Rana merusak kebahagiaan sahabat di mata sahabat. Sebaliknya, Rana memberitahukan ini karena Rana tidak ingin membiarkan sahabat jatuh ke dalam kebahagiaan yang salah.

Sepertinya, berulang kali Rana berusaha memberitahu dan menjelaskan kepada sahabat, tetap saja sahabat tak percaya dan tak mau menerima.

Rana sadar, Rana salah. Rana terbawa emosi saat memberitahukan sahabat. Tapi, ketahuilah, bahwa Rana marah karena Rana tidak ingin sahabat salah jalan. Sekali lagi, Rana tidak ingin sahabat terus menerus diperlakukan seperti apa yang sahabat ceritakan kepada Rana.

Sahabat, maafkan atas kesalahan Rana. Maafkan Rana yang selama ini tidak bisa menjadi sahabat yang baik bagi sahabat. Namun, sepertinya sahabat enggan dengan permohonan maaf Rana. Tidak apa. Tak masalah. Rana tahu, menurut sahabat, Rana telah merusak kebahagiaan sahabat. Terserah sahabat mau berprasangka apa terhadap Rana. Yang jelas, Rana tidak ingin hal buruk terjadi kepada sahabat.

Terimakasih sahabat, karena telah mau menjadi sahabat Rana. Terimakasih sahabat, karena telah mempercayai Rana. Semoga sahabat bahagia dengan dunia baru sahabat. Semoga sahabat menemukan sahabat yang lebih baik dari Rana.




Ranasya

Sabtu, 29 September 2012

Mengejar Mimpi

Ketika kau bermimpi
Dan ketika kamu membuka matamu juga
Kau tersadar bahwa kau sedang berada dalam realita
Sekejap mimpi-mimpi itu terbang bersama angin

Semua berhak untuk bermimpi
Bahkan saat kau memimpikan hal yang tak mungkin sekalipun
Yang menurutmu sulit untuk kau gapai
Percayalah bahwa ada banyak jalan menuju suatu tempat

Jangan pernah bosan untuk berlari
Jangan pernah merasa lelah untuk mengejar mimpi
Karena mimpi adalah harapan
Yang kau bangun sedemikian rupa dalam hidupmu

Sabtu, 22 September 2012

Nostalgia di Bawah Hujan

Saat rintikkan air jatuh tepat di atas kepalamu
Seperti kilat memori itu terekam kembali
Salahnya kamu punya lebih dari satu memori
Nostalgia dengan karakter yang berbeda

Waktu itu tak sengaja
Waktu itu memang direncanakan
Lantas yang mana yang akan kau pilih
Yang mana yang akan kau simpan dalam figuramu

Apa kau sadar bahwa yang tak sengaja itu
Justru terlarang bagimu
Masihkah tetap kau paksakan
Yang justru malah akan menyakitimu

Bagaimana jika kuberikan penawaran untukmu?
Pergilah dan kejar bayangan lamamu
Tinggalkan yang sekarang
Jangan pernah kau punya asa untuk itu

Lebih baik kau buang salah satu
Bukan lebih baik tapi harus
Karena semua itu
Hanya akan memenuhi ruang pikiran dan hatimu

Minggu, 16 September 2012

Welcome New Neighbor!

Today I'll share about my experience. Actually, it was happen yesterday. No, no, no, it was happen since I'm on 2nd grade in  elementary school.

Lanjut bahasa Indonesia aja ya. Bilingual.

Kemarin itu adalah hari plus plus bagi saya. Ada kabar gembira dan kabar buruk. Ya, diawali dari yang kabar gembira, sepupu saya telah melangsungkan pernikahannya kemarin. Congrats! Wish you will be a happy family. Sakinah, mawaddah, warahmah.

Nah, ini dia kabar buruknya. Saya kedatangan tetangga baru. Lho, kok kabar buruk sih? Ya, yang saya maksud tetangga baru di sini adalah bagian dari tetangga saya. Nah, bingung kan. Sama saya juga bingung.

Jadi maksudnya gini. Tetangga depan rumah saya punya peliharaan baru setelah hampir 4 tahun nggak punya peliharaan. Ya, terus apa hubungannya? Oke, perhatikan baik-baik.

Seandainya peliharaannya itu binatang lucu nan berbulu seperti kucing, dengan tangan terbuka dan senang hati saya menerimanya. Tapi, yang saya maksud peliharaan di sini itu... Doggy! Ya, you know what I mean. Ini mengingatkan saya akan pengalaman 10 tahun silam.

Pertama kali saya pindah ke rumah yang Alhamdulillah sampai sekarang saya tinggali, tetangga depan rumah memang memelihara doggy. Sebenarnya sih saya nggak masalah selama doggy itu nggak mengganggu dan nggak galak. Nah, yang jadi masalah, doggy itu setiap pagi gong-gong di depan rumah minta makan. Waktu itu sampai pernah masuk ke rumah. Bayangkan, coba bayangkan? Oke, seandainya doggy nggak najis (menurut ajaran agama), mungkin saya Insya Allah nggak takut. Tapi nggak jadi jaminan juga sih.

Nah, pengalaman yang nggak kalah manarik juga saya alami. Saat pulang sekolah, tak jarang doggy itu menghadang saya. Otomatis dengan begitu saya nggak bisa masuk ke rumah. Saat berangkat les, doggy itu mondar-mandir di depan rumah saya. Otomatis saya nggak bisa berangkat les. Kadang, kalau doggy itu terus mondar-mandir, saya memutuskan untuk nggak les alias bolos. Begitu juga saat pulang les. Waktu itu saya sampai pernah manjat pagar saking takutnya dikejar. Setelah doggy itu dipanggil sama tuannya, giliran saya yang nggak bisa turun. Memang dasarnya saya nggak bisa manjat.

Sebenarnya, warga sekitar lainnya juga menuai protes atas kelakuan si doggy itu. But my mother said, "Kayaknya doggy itu kurang dikasih makan deh. Kalo emang dia dikasih makan yang cukup, nggak mungkin sepatu kerja Ayah sama sendalmu digigit sampai robek. Terus, nggak mungkin juga dia ngacak-ngacak kantung semen yang ada di depan rumah, sampai semennya berkurang gitu. Mungkin dimakan."

Glek! Ya, begitulah...

Sampai akhirnya, saya patut untuk lega dan bersyukur, kalau doggy itu dibawa ke Medan, ikut pindah sama anak tuannya. Alhamdulillah... Akhirnya saya bukan anak rumahan lagi. Akhirnya saya bisa bebas. I'm free...

Setahun... Dua tahun... Tiga tahun... Hidup saya damai sentosa. Sampai klimaksnya adalah kemarin. Saya dan adik saya mendengar suara lolongan doggy. Ketika adik saya mengecek keluar rumah, lalu kembali masuk ke rumah. Dengan innocence face dia berkata, "Teh, tetangga depan kita pelihara doggy lagi."

Glek... Glek...! Haruskah pengalaman 10 tahun itu saya rasakan kembali? Bagaimana saya berangkat sekolah? Bagaimana saya pulang sekolah? Bagaimana saya pergi keluar rumah? Sepertinya saya akan menjadi anak rumahan setelah kejadian ini.

Positifnya, sudah kelas 12 supaya nggak banyak main. Negatifnya... Entahlah. Doakan saja semoga semuanya lancar.

Minggu, 09 September 2012

Elia Abu Mahdi Berkata

Orang berkata, "Langit selalu berduka dan mendung."
Tapi aku berkata, "Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana."
Orang berkata, "Masa muda telah berlalu dariku."
Tapi aku berkata, "Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda tak kan pernah mengembalikannya."
Orang berkata, "Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka.
Janji-janji telah mengkhianatiku ketika kalbu telah menguasainya.
Bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya?"
Maka akupun berkata, "Tersenyum dan berdendanglah, kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya."
Orang berkata, "Perdagangan selalu penuh intrik dan penipuan, ia laksana musafir yang akan mati karena terserang rasa haus."
Tapi aku berkata, "Tetaplah tersenyum, karena engkau akan mendapatkan penangkal dahagamu. Cukuplah engkau tersenyum, karena mungkin hausmu akan sembuh dengan sendirinya.
Maka mengapa kau harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain, apalagi sampai engkau seolah-olah yang melakukan dosa dan kesalahan itu?"
Orang berkata, "Sekian hari raya telah tampak tanda-tandanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka-boneka. Sedangkan aku punya kewajiban bagi teman-teman dan saudara, namun telapak tanganku tak memegang walau hanya satu dirham adanya."
Kukatakan: Tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena Anda masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara-saudara dan kerabat yang kau cintai.
Orang berkata, "malam memberiku minuman 'alqamah 
tersenyumlah, walaupun kau makan buah 'alqamah
Mungkin saja orang lain yang  melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdendanglah
Apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakkan wajah berseri?
Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu tampak indah berseri
Tertawalah, sebab meteor-meteor langit juga tertawa mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang-bintang
Orang berkata, "Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah."
Kukatakan, "Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum."

Sayap-Sayap Patah - Kahlil Gibran

Wahai Langit
Tanyakan pada-Nya
Mengapa Dia menciptakan sekeping hati ini
Begitu rapuh dan mudah terluka
Saat dihadapkan dengan duri-duri cinta
Begitu kuat dan kokoh
Saat berselimut cinta dan asa

Mengapa Dia menciptakan rasa sayang dan rindu
Di dalam hati ini
Mengisi kekosongan di dalamnya
Menyisakan kegelisahan akan sosok sang kekasih
Menimbulkan segudang tanya
Menghimpun berjuta asa
Memberikan semangat
Juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira

Mengapa Dia menciptakan kegelisahan dalam relung jiwa
Menghimpit bayangan
Menyesakkan dada
Tak berdaya melawan gejolak yang menerpa

Wahai ilalang
Pernah kan kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini
Mengapa kau hanya diam
Katakan padaku
Sebuah kata yang bisa meredam gejolak hati ini
Sesuatu yang dibutuhkan raga ini
Sebagai pengobat tuk rasa sakit yang tak terkendali
Desiran angin membuat berisik dirimu
Seolah ada sesuatu yang kau ucapkan padaku
Aku tak tahu apa maksudmu
Hanya menduga

Bisikanmu mengatakan ada seseorang di balik bukit sana
Menunggumu dengan setia
Menghargai apa arti cinta
Hati yang terjatuh dan terluka
Merobek malam menoreh seribu duka
Kukepakkan sayap-sayap patahku
Mengikuti hembusan angin yang berlalu
Menancapkan rindu
Disudut hati yang beku
Dia retak, hancur bagai serpihan cermin
Berserakan
Sebelum hilang di terpa angin
Sambil terduduk lemah
Kucoba kembali mengais sisa hati
Bercampur baur dengan debu
Ingin kurengkuh

Kugapai kepingan di sudut hati
Hanya bayangan yang kudapat
Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya
Tak sanggup ku kepakkan kembali sayap ini
Ia telah patah
Tertusuk duri-duri yang tajam
Hanya bisa meratap
Meringis
Mencoba menggapai sebuah pegangan

Pecah

Malam ini hening
Ketika kau tatap langit
Kau akan temukan sejuta bintang
Menghampar tak terhingga

Desiran angin membelai dirimu
Menusuk hingga ke dalam rusukmu
Dingin tak tahu diri
Perlahan tapi pasti

Entah kenapa bayangnya muncul
Begitu saja seperti debu
Mengitari relung diri
Makin lama makin jadi

Dia tersenyum
Tapi kau melihat sosok selain dirimu
Tepat di belakangnya
Merengkuh hangat di dekapnya

Pisau itu menikam dirimu
Menahan sebutir air mata pun tak kuasa
Apa daya, dirimu hanya bisa menerawang
Mengira apa yang akan terjadi padamu

Seketika semua pecah
Karena kehadirannya dan orang tak dikenal itu
Mimpi-mimpi dan angan-angan yang retak
Mencoba menyatukan kembali namun sulit

Kau ambil pecahan mimpimu
Menyusunnya perlahan
Naas angin kencang itu bertiup lagi
Kau tatap nanar kepingan mimpimu yang berserakan

Sepertinya sekarang kau sadar
Kau lelah dan berhenti mencoba
Memilih mengabaikan mimpimu
Meninggalkannya tanpa harus mengingatnya

Merenda Kasih - Andity

Saat bintang datang
Tampak jelas di awan
Inginku menggapai kejora
Kan kupeluk sungguh
Menghapus luka di diri

Tiada lelahku
Menanti dan tunggu
Harapan yang dulu kau janjikan
Namun sampai kapan
Kuharus s'lalu begini kasih

Bila cinta memang harus memilih
Katakanlah pasti kepadaku
Dia atau daku kasih
Dapatkan cintamu
Takkan kuingkari kenyataan yang ada

Dan bila kita memang harus berpisah
Oh kekasihku, biarkan aku
Dengan cintaku, dengan jalanku
Kan kuukir manis kenangan kasih kita

Kamis, 06 September 2012

Dan Kamu Berhasil

Tak pernah terpikir olehku bertemu kamu
Karena memang aku tak mengenalmu
Bertemu saja tak pernah
Mendengar namamu saja tidak

Kini aku masuk dalam lembar baruku
Menapaki perlahan penuh rintangan
Sampai aku pada lembar berikutnya
Dan ini adalah awalnya

Kamu tahu
Bertemu dan mengenalmu adalah ambigu
Kesalahan, ketidaksengajaan
Atau malah memang takdir

Kamu tahu
Bertemu kamu itu belajar
Belajar mengenal dirimu
Menebak apa yang ada dalam dirimu

Kamu tahu
Butuh waktu lama untukku
Karena kamu sangat keras
Butuh sabar karena kamu kukuh

Dan sekarang kamu tahu
Kamu berhasil membuatku bingung
Melihatmu seolah fatamorgana
Bahwa kamu itu bukanlah dirimu

Dan kamu berhasil
Membawaku masuk duniamu
Padahal aku tak tahu menahu
Kamu malah terus memaksa

Sekali lagi kukatakan untukmu
Kamu berhasil buatku terbawa
Buatku bingung sejuta tanya
Dan kamu berhasil

If Only Tears Could Bring You Back - Midnight Sons

How will I start  
Tomorrow without you here 
Who's heart will guide me 
When all the answers disappear
 
Is it too late 
Are you too far gone to stay 
This one's forever 
Should never have to go away
 
What will I do 
You know I'm only half without you 
How will I make it through
 
If only tears could bring you back to me 
If only love could find a way 
What I would do, what I would give 
If you returned to me someday 
Somehow, someway 
If my tears could bring you back to me
 
I'd cry you an ocean 
If you'd sail on home again 
Wings of emotion 
Will carry you, I know they can
 
Just light will guide you 
And your heart will chart the course 
Soon you'll be drifting 
Into the arms of your true north
 
Look in my eyes 
And you will see a million tears have gone by 
And still they're not dry
 
If only tears could bring you back to me 
If only love could find a way 
What I would do, what I would give 
If you returned to me someday 
Somehow, someway 
If my tears could bring you back to me
 
I hold you close 
And shout the words I only whispered before 
For one more chance, for one last dance 
There's nothing that I would not give and more
 
If only tears could bring you back to me 
If only love could find a way 
What I would do, what I would give 
If you returned to me someday 
Somehow, someway 
If my tears could bring you back to me

Sabtu, 01 September 2012

Surat Hati Kecil Ranasya: Apalah Arti Status Sosial

Hai, aku Ranasya. Aku akan berbagi cerita lewat surat ini. Iya, lewat secarik surat yang usang. Bagi kalian yang belum mengenalku, aku adalah seorang perempuan yang tinggal di pinngiran kota. Ya, di sini aku hidup dengan penuh kesederhanaan. Ketika aku pergi ke kota untuk sekedar jalan-jalan, terkadang aku miris melihatnya. Gedung-gedung besar, rumah bertingkat mewah, mobil, motor, dan yang pasti lebih maju dibandingkan tempat tinggalku. Tapi, aku tidak menyesal. Aku bangga hidup dalam lingkunganku sekarang, walaupun tidak ada teknologi canggih. Kenapa? Karena aku bangga rasa kekeluargaan dan gotong royong di tempat tinggalku masih kental terasa, bahkan diterapkan sehari-harinya. Bagiku, kebersamaan itu penting, tanpa memandang status sosial.

Oh iya, bicara soal status sosial, aku akan menceritakan tentang pengalaman Kak Fitri, kakakku yang sangat aku sayang. Suatu ketika, saat pulang sekolah, aku melihat ada yang aneh dengan Kak Fitri. Matanya merah dan sembab. Seperti orang menangis. Tadinya, aku ragu untuk menghampiri dan bertanya kenapa. Tapi, rasa penasaran mengalahkanku dan akhirnya aku berjalan menuju kamar Kak Fitri. Kuketuk pintu kamarnya, sedikit rasa takut menghampiriku. Tak lama kemudian, Kak Fitri membuka pintu kamarnya. Dia tersenyum kepadaku seraya berkata, "Ada apa Rana?". Aku hanya membalas tersenyum lalu bertanya, "Kakak kenapa? Kok mata kakak merah? Kakak menangis ya?". Kak Fitri menghela napas dan tersenyum lagi. "Kakak nggak nangis. Ada debu masuk ke mata kakak, makanya jadi perih dan merah.". Aku tahu Kak Fitri bohong. Dia tak mau mebuatku uikut sedih. Aku terpaksa mendesaknya untuk bercerita kepadaku apa yang terjadi. Dan inilah yang dikatakan Kak Fitri.

"Rana, hari ini kakak sedih. Sangat sedih. Bagaimana tidak? Status sosial keluarga kita diinjak-injak. Kakak tahu Rana, keluarga kita bukanlah keluarga yang mampu. Ekonomi keluarga kita menengah ke bawah. Tapi bukan berarti moral dan tata krama kita rendah. Rana, kakak mohon dengarkanlah pesan kakak ini. Jika nanti kamu telah dewasa dan kamu sukses, janganlah sesekali kamu sombong, apalagi sampai merendahkan status sosial seseorang. Di dunia ini semua orang sama Rana, tidak terkecuali. Tujuan akhir kita juga sama. Kakak mohon, Rana, selalu ingat pesan kakak. Dalam keadaan apapun kamu hidup, yang terpenting kamu tidak boleh sombong dan lupa kepada siapapun, terutama kepada Yang Maha Kuasa. Jangan pernah bosan untuk berbuat baik kepada siapapun. Siapapun, tanpa memandang status sosial."
Aku tersadar akan semua perkataan Kak Fitri. Benar apa yang dikatakan Kak Fitri bahwa kita hidup bukan untuk memandang status sosial. Selalin itu, ketika kita sukses, keadaan kita telah berubah menjadi lebih baik, kita tidak boleh sombong dan lupa. Dan sekali lagi memang benar, bahwa kita di dunia ini sama dan tujuan akhirnya pun sama. Apalah arti status sosial dalam hidup kita. Hal itu bukanlah penghambat kita untuk berbuat baik kepada seseorang. Bukankah kita hidup di dunia ini harus tolong menolong? Bukankah kita ini makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa bantuan orang lain? Dan yang terpenting adalah jangan pernah memandang seseorang dari status sosial belaka.




Ranasya

Minggu, 26 Agustus 2012

Sesak Ini

Hari ini aku baru menyadarinya
Memang aku tak tahu diri
Terlalu bodoh
Sangat sangat bodoh

Saat aku bercermin pada bayangku
Ingin rasanya aku menertawakan diriku
Merutuki diri ini
Tak pernah ada habisnya

Terlambat sudah
Terlalu lambat
Kau terlau tak peka untu merasakannya
Tak sadar akan kejanggalan

Seandainya waktu dapat diputar
Aku akan kembali
Kalau bisa aku ingin amnesia
Saat sadar seolah tak terjadi apapun

Harus kuakui
Bahwa aku adalah manusia bodoh
Tertipu oleh muslihatmu yang tak pernah ada habisnya
Dan sudah terlalu sering termakan jebakanmu

Tertawalah, tertawalah sepuasnya
Karena di sini aku hanya melampiaskan kekesalanku
Emosi yang setengah tak bisa kukendalikan
Tapi tetap saja sesak ini bersemayam padaku

Sudahlah cukup
Sesak ini kumohon
Pergilah, pergilah kamu
Sekarang kamu sudah puas kan?

Melihatku bingung setengah mati
Termakan manis buaianmu
Terjerumus dalam jurang jebakanmu
Berdiam diri merutuki diriku karenamu

Tertawalah, tak apa tertawalah
Tapi tolong camkan
Cukup untuk kali ini aku tertipu
Tapi tidak untuk esok dan seterusnya

Camkan itu!
Karena aku bisa taklukanmu kembali
Dan suatu nanti pasti
Kamu akan bertekuk lutut padaku

Jumat, 24 Agustus 2012

24 Agustus 2012

Hari ini baru saja saya bertemu dan kumpul dengan teman-teman SD. Setelah kurang lebih 2 tahun tidak bertemu, hari ini saatnya.

Pertemuan kali ini sekaligus bertujuan ziarah ke makam teman kami, almh. Mega Sarah Pulukadang. Saya tidak akan pernah lupa kapan wafatnya. Mungkin akan selalu tersimpan di pikiran saya.

20 Agustus 2010 atau orang-orang familiar dengan menyebutnya atau menulisnya 20102010. Angka yang unik bukan? Tapi tidak untuk saya dan teman-teman. Pada saat itulah teman kami pulang menghadap kehadirat-Nya.

Setelah ziarah ke makamnya, saya merenungi hal yang pasti akan terjadi. Kematian. Kematian itu tak memandang umur. Bukan berarti yang tua yang lebih dulu menjemput ajalnya, yang muda juga bukan menjadi jaminan bahwa kematian masih lama.

Mungkin, tak jarang saat emosi menyelubungi diri kita, begitu mudah kita mengucap kata "mati" atau biasanya "Gue mau mati aja". Kurang lebih intinya begitu. Namun, pada saat kita sadar dan merenung, sudah merasa siapkah anda dengan kematian itu sendiri? Kalau saya sih belum.

Cepat atau lambat, hal yang satu ini pasti akan menghampiri kita. Dan tak pandang untuk siapapun, hal ini berlaku untuk semua. Karena ini memang sudah qodratnya. Tujuan terakhir kita sama. Tak memandang kasta atau apapun. Rumah terakhir kita adalah tanah berhiaskan batu nisan.

Rabu, 22 Agustus 2012

Kau Pikir Aku Siapa

Tak jarang aku meratapi hidupku
Dari perkara kecil sampai besar
Dari perkara tak terlihat sampai terlihat
Dari yang masuk akal sampai gila

Bukan untuk kali ini aku melakukannya
Ratapan adalah makanan sehari-hariku
Santapan lezatku
Hidangan pembuka, inti, bahkan penutup

Memangnya hidup ini harus diukur secara fisik
Memangnya hidup ini harus diukur secara materi
Kalau memang menurutmu ya, lakukan saja
Buatku semua itu tak ada artinya

Tertawalah kau sepuasnya
Tertawalah saat kau puas akan penderitaanku
Menarilah bersama angin
Dan tak usah kau kembali

Jingga kelabu
Hidup ini semakin pilu
Elegi bagiku
Bahagia bagimu

Kau pikir aku siapa
Orang yang bisa kau jadikan pelampiasan
Kau pikir aku siapa
Seenaknya kau jadikanku budak dalam hidupmu

Sudah terlalu jenuh aku dikekangmu
Jangan kau kira batangan emasmu bisa menghipnotisku
Terlalu banyak janji lekas pergi
Memangnya kau pikir aku siapa

Selasa, 21 Agustus 2012

Sydney Mimpiku

Cuaca hari ini sangat panas. Bekerja di tengah terik matahari seperti ini kadang membuatku merasa lemas. Kadang aku berpikir betapa nikmatnya bekerja di sebuah ruangan yang ber-AC, duduk di belakang meja, dan sibuk berkutat dengan komputer. Serba canggih. Dibandingkan bekerja di tengah perkebunan teh di temani panasnya matahari. Jauh drastis.

Aku Lukita Mariska. Aku hanyalah seorang siswa Sekolah Menengah Atas Terbuka dan pemetik teh. Bagiku berada di bangku sekolah sampai saat ini merupakan sesuatu yang patut disyukuri. Sebenarnya bisa dibilang aku sangat berutung. Kenapa? Karena sangat jarang seorang pemetik teh sepertiku mengenyam pendidikan. Bersyukur aku bisa mengenyam pendidikan karena Pak Sardi, juragan pemilik kebun teh. Orang tuaku cukup lama bekerja kepada Pak Sardi, begitupun aku. Alasan Pak Sardi kenapa mau menyekolahkanku, menurutnya keluargaku adalah seorang pekerja keras yang jujur. Katanya lagi, aku pantas menerima ini. Benarkah? Tapi menurutku semua ini sudah kehendak Sang Pencipta.

"Kit, melamun aja. Itu kerjaanmu bagaimana?" tanya Eni, sahabatku sesama pemetik teh.

"Eh, belum Ni." Eni mendecak dan menghela napas. "Kalau kerjaanmu belum selesai, sekolahmu bagaimana?"

Sekolah? Astaga! Aku lupa kalau setelah dzuhur nanti aku harus sekolah. "Aku lupa," kataku sambil menepuk dahi.

"Makanya jangan melamun aja. Selesaikan dulu kerjaanmu. Aku tunggu di tempat pengumpulan." Eni pergi meninggalkanku sendiri di tengah rimbunnya kebun teh.

Sekitar setengah jam kemudian, aku dan Eni bertemu di tempat pengumpulan. Kami duduk di balai-balai sambil menunggu antrian penimbangan hasil teh yang dipetik.

"Panas banget ya hari ini. Kalau sudah seperti ini, jadi ingin tidur," celetuk Eni.

"Setidaknya kamu masih bisa tidur Ni. Dibandingkan aku, setelah ini aku harus pergi sekolah," jawabku malas.

"Kamu beruntung Kit. Bagi seorang pemetik teh, kemungkinannya sangat kecil mengeyam pendidikan sepertimu. Kalau aku jadi kamu, aku takkan sia-siakan kesempatan itu," ceramah Eni panjang.

Ada benarnya juga yang dikatakan Eni. Sedikit kesempatannya pemetik teh lain untuk bisa sepertiku. "Iya juga Ni. Oh iya, aku mau cerita deh."

Eni antusias mendengarkan ceritaku. "Salah nggak sih kalau aku punya cita-cita?" tanyaku polos.

Eni mengernyitkan dahinya. "Masa iya punya cita-cita salah. Sah-sah aja kok, malah bagus."

"Tapi cita-citaku bisa dibilang terlalu tinggi." Perkataanku membuat Eni penasaran. "Memangnya cita-citamu itu apa sih?"

"Aku mau sekolah di Sydney," jawabku gugup.

"Hah? Sidane?" Eni terbelalak mendengar jawabanku. "Sidane yang kamu maksud itu di luar negeri?"

"Ni, bukan Sidane, tapi Sydney. Iya, di luar negeri, di Australi." Eni memandangku tak percaya ketika aku menyebutkan kata 'Australi'.

"Kit, boleh bercita-cita tinggi, tapi tau batasnya. Kita ini cuma pemetik teh. Gimana ceritanya bisa ke Australi. Paling tinggi cita-cita kita ya jadi juragan kebun teh."

Aku merenungi jawaban Eni. Kalau dilihat dari sisi ekonomi, memang mustahil. Aku hanyalah seorang pemetik teh. Tapi, bukanlah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini? Setidaknya selama masih logis.

"Berikutnya." Terdengar suara penimbang teh memanggil kami berdua. Rupanya Pak Bahri, penimbang teh, mendengar obrolan aku dan Eni,

"Kit, kamu yakin dengan omonganmu tadi?" Aku mengernyitkan dahiku. "Omongan apa Pak?"

Pak Bahri tersenyum simpul. "Itu, tentang kamu ingin sekolah ke Australi. Kamu yakin?"

Ditanya seperti itu, membuat perasaanku bimbang tak karuan. Aku diam tak bisa menjawab pertanyaan beliau.

"Kok diam?" tanya Pak Bahri tertawa kecil. "Kalau memang itu cita-citamu, kejarlah. kamu pasti bisa, dengan usaha, doa, dan keyakinan."

Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Perasaanku tak karuan. Perang batin. Apakah mungkin mimpi gila bagiku ini bisa kucapai? Setelah Eni selesai menimbang hasil petikan tehnya, aku dan Eni kembali ke rumah masing-masing.

Setibanya di rumah, tanpa basa-basi aku langsung masuk ke kamar. Sejenak menatap gambar Sydney Opera House yang kuambil dari koran dan kutempel di dinding kamar. Sudah cukup lama aku bermimpi dapat menginjakkan kaki di sana. Tanpa sadar pipiku basah akan air mataku. Ya, aku menangis. Aku ragu apakah aku bisa mengunjunginya, Sydney?

"Kit... Ukit... Kamu kenapa?" panggil Mbak Diah, kakakku. "Kit..." tukasnya sambil mengetuk pintu kamar.

Aku membuka pintu kamarku dan mempersilahkan Mbak Diah masuk. Mbak Diah menatapku heran. Mungkin lebih tepatnya menatap mataku yang sembab.

"Kamu nangis?" tanya Mbak Diah. Terpaksa aku tak bisa bohong. Mencari seribu alasan pun, Mbak Diah bukanlah orang yang mudah dibohongi. Dia sangat teliti.

"Kamu kenapa? Kalau memang ada masalah, kamu bisa cerita sama mbak. Itu kalau kamu mau."

Bagiku, Mbak Diah sosok kakak yang perhatian. Selain itu, dia tidak pernah memaksa dalam hal apapun. Seperti saat ini. Walaupun dia tahu aku ada masalah, tapi dia tak memaksaku untuk menceritakannya. Kalau mau silahkan, tidak juga tidak apa.

"Yaudah, apapun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu harus tegar. Jangan terlalu larut," nasihat Mbak Diah. "Oh iya hari ini kamu nggak sekolah?"

Aku menggeleng. Sebaiknya hari ini aku tidak sekolah dulu. Dalam keadaan seperti ini, aku butuh ketenangan.

"Tuh kan, baru aja dinasihatin," tanggap Mbak Diah. "Jangan jadikan masalah sebagai alasan penghambat kegiatanmu. Manfaatkan kesempatan yang ada. Kamu beruntung Kit, kamu bisa mengenyam pendidikan seperti sekarang. Mbak saja yang harusnya sudah tidak sekolah lagi, kalau ada kesempatan, mbak pasti terima. Walaupun umur mbak sudah lewat batas. Lagipula, mbak yakin, kamu pasti punya cita-cita kan?"

Pertanyaan itu seakan menusuk, melesat tepat ke jantungku. "Cita-citaku itu gila. Sangat gila."

Mbak Diah tertawa kecil mendengar jawabanku. "Cita-cita kok dibilang gila. Walaupun selama ini mbak diam, jangan kamu kira kalau mbak tak tau cita-citamu," katanya sambil menunjuk gambar di dinding. "Sydney Opera House. Itu kan cita-citamu?"

Aku tersenyum pesimis. Kutatap gambar itu dan ketika aku hendak merobeknya, Mbak Diah menahanku. "Kit, kalau memang itu cita-citamu, kejarlah."

"Tapi, mbak, mustahil untukku. Mustahil cita-cita itu untukku." Tangisku pecah. Aku tak dapat mengendalikan emosiku.

"Kit, di dunia ini nggak ada yang mustahil, selama masih masuk akal. Termasuk cita-citamu. Semua itu mungkin, kalau kita berusaha, berdoa, dan yakin. Cita-cita tinggi itu bukan hanya untuk orang tertentu. Cita-cita itu untuk semua orang, sekalipun orang desa seperti kita."

Suasana berubah hening di sela-sela aku dan Mbak diah beradu pendapat. "Mbak yakin kalau kamu bisa Kit. Berjuanglah." Mbak Diah keluar dari kamarku. Kini yang tersisa hanya aku dan emosiku.

Dalam keadaan setengah malas, aku bersiap-siap untuk sekolah. Apa yang dikatakan Mbak Diah jelas masih terngiang di pikiranku. Perang batinku semakin kuat. Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Aku menghela napas. Semoga aku bisa menjalaninya.

Kegiatan yang kujalani di sekolah biasa saja. Bagiku tak ada kesan menarik. Mungkin karena efek emosiku yang belum stabil. Beruntung, hari ini aku pulang cepat. Namun, sayang, Bu Risma, kepala sekolah memanggilku. Tadinya aku ingin menolak, tapi tidak sopan. Beruntung lagi, ternyata Bu risma tidak jadi memanggilku. Aku tak tahu alasannya apa, tapi yang jelas ini baik untukku. Setidaknya aku bisa mencari ketenangan.

Di tengah perjalan pulang, aku bertemu dua orang asing. Laki-laki dan perempuan. Kebetulan sekali, hanya aku yang ada di jalan itu, jadilah dua orang itu menghampiriku. Awalnya aku gugup, namun aku mencoba beranikan diri. Setidaknya aku bisa bahasa Inggris, walalupun hanya sedikit.

"Excuse me. Do you know where Harum Senior High School?" tanya perempuan asing itu.

SMA Harum? Itu sekolahku. "Ah, sure. That's my school."

"Ah, so, could you show the place?" tanya laiki-laki asing antusias.

"Let follow me," jawabku menunjukkan arahnya.

Sepanjang perjalanan aku berpikir. Baru kali ada orang asing yang berkunjung ke sekolahku. Ada perlu apa ya mereka dengan sekolahku. Semakin aku bertanya-tanya, semakin membuatku penasaran. Tanpa terasa, aku dan dua orang asing itu tiba di tempat tujuan.

"Oh, thanks a lot girl. You've helped us. Ah, I forgot. We didn't introduce before. I'm Jane," katanya sambil mengajak berjabat tangan.

"I'm Lukita. You can call me Ukit."

"Sorry, Ukeith? Isn't right?"

"No. Ukit. U-K-I-T. Ukit," kataku mengulang.

"Ukit, nice to meet you. And this is my friend, Clark."

"Hello, nice to meet you," katanya sambil menjabat tanganku. Aku membalasnya dengan senyum.

Tiba-tiba Bu Risma melihat aku, Jane, dan Clark di halaman sekolah. "Ukit, kamu belum pulang?"

"Belum, Bu. Tadi pas perjalanan pulang saya bertemu dua orang ini. Mereka ingin ke sini. Lalu saya tunjukan jalannya."

"Terimakasih Ukit. Oh iya, kamu tunggu di sini ya. Jangan pulang dulu," titah Bu Risma.

Aku terdiam di tepi halaman sekolah, tepatnya berteduh di bawah pohon jambu. Mataharinya terik sekali. Aku tenggelam dalam kesabaranku menunggu sampai akhirnya...

"Kit... Ukit... Bangun Kit," samar-samar suara Bu Risma terdengar di telingaku. Perlahan aku membuka mataku. Ya ampun! Aku ketiduran karena lelah menunggu.

"Ayo, ikut ke ruangan ibu. Ada hal penting yang ingin ibu bicarakan dengan kamu," ajak Bu Risma.

Sekarang aku berada di ruangan Bu Risma bersama Jane dan Clark. Ada hal penting apa yang dimaksud Bu Risma.

"Kit, sebelumnya ibu mengucapkan terimakasih. Dan yang terpenting kamu harus bersyukur Kit." Aku tak mengerti apa yang bu Risma bicarakan. Tiba-tiba saja Bu Risma menitikkan air matanya.

"Maksud Ibu apa? Maaf Bu, saya kurang mengerti."

"Ms. Jane, you could tell to her," jawab Bu Risma. Jane hanya tersenyum.

"Kit, kamu didaulat untuk menjadi perwakilan sekolah ke Australi, tepatnya Sydney."

Sekejap aku terdiam mendengarnya. Gempa parsial terjadi dalam diriku. Apa yang aku alami sekarang rasanya sebuah mimpi. Tanpa sadar aku menangis terharu. Benarkah ini? Benarkah apa yang kudengar? Benarkah apa yang kualami sekarang? Mimpikah ini? Atau kenyataan?

"Congratulation, Ukit," kata Jane disusul Clark. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dengan cepat aku pulang ke rumah dan memberitahu orang tuaku, termasuk Mbak Diah. Keluargaku tak percaya mendengarnya, begitupun aku, sampai saat ini aku masih tak percaya. Namun, inilah kenyataannya. Sydney yang dulu hanyalah mimpi bagiku, sekedar angan-angan, sekarang jadi kenyataan. Apa yang dikatakan Mbak Diah terbukti, bahwa cita-cita tinggu itu berlaku untuk semua orang, tak terkecuali orang desa sepertiku.