Selasa, 21 Agustus 2012

Sydney Mimpiku

Cuaca hari ini sangat panas. Bekerja di tengah terik matahari seperti ini kadang membuatku merasa lemas. Kadang aku berpikir betapa nikmatnya bekerja di sebuah ruangan yang ber-AC, duduk di belakang meja, dan sibuk berkutat dengan komputer. Serba canggih. Dibandingkan bekerja di tengah perkebunan teh di temani panasnya matahari. Jauh drastis.

Aku Lukita Mariska. Aku hanyalah seorang siswa Sekolah Menengah Atas Terbuka dan pemetik teh. Bagiku berada di bangku sekolah sampai saat ini merupakan sesuatu yang patut disyukuri. Sebenarnya bisa dibilang aku sangat berutung. Kenapa? Karena sangat jarang seorang pemetik teh sepertiku mengenyam pendidikan. Bersyukur aku bisa mengenyam pendidikan karena Pak Sardi, juragan pemilik kebun teh. Orang tuaku cukup lama bekerja kepada Pak Sardi, begitupun aku. Alasan Pak Sardi kenapa mau menyekolahkanku, menurutnya keluargaku adalah seorang pekerja keras yang jujur. Katanya lagi, aku pantas menerima ini. Benarkah? Tapi menurutku semua ini sudah kehendak Sang Pencipta.

"Kit, melamun aja. Itu kerjaanmu bagaimana?" tanya Eni, sahabatku sesama pemetik teh.

"Eh, belum Ni." Eni mendecak dan menghela napas. "Kalau kerjaanmu belum selesai, sekolahmu bagaimana?"

Sekolah? Astaga! Aku lupa kalau setelah dzuhur nanti aku harus sekolah. "Aku lupa," kataku sambil menepuk dahi.

"Makanya jangan melamun aja. Selesaikan dulu kerjaanmu. Aku tunggu di tempat pengumpulan." Eni pergi meninggalkanku sendiri di tengah rimbunnya kebun teh.

Sekitar setengah jam kemudian, aku dan Eni bertemu di tempat pengumpulan. Kami duduk di balai-balai sambil menunggu antrian penimbangan hasil teh yang dipetik.

"Panas banget ya hari ini. Kalau sudah seperti ini, jadi ingin tidur," celetuk Eni.

"Setidaknya kamu masih bisa tidur Ni. Dibandingkan aku, setelah ini aku harus pergi sekolah," jawabku malas.

"Kamu beruntung Kit. Bagi seorang pemetik teh, kemungkinannya sangat kecil mengeyam pendidikan sepertimu. Kalau aku jadi kamu, aku takkan sia-siakan kesempatan itu," ceramah Eni panjang.

Ada benarnya juga yang dikatakan Eni. Sedikit kesempatannya pemetik teh lain untuk bisa sepertiku. "Iya juga Ni. Oh iya, aku mau cerita deh."

Eni antusias mendengarkan ceritaku. "Salah nggak sih kalau aku punya cita-cita?" tanyaku polos.

Eni mengernyitkan dahinya. "Masa iya punya cita-cita salah. Sah-sah aja kok, malah bagus."

"Tapi cita-citaku bisa dibilang terlalu tinggi." Perkataanku membuat Eni penasaran. "Memangnya cita-citamu itu apa sih?"

"Aku mau sekolah di Sydney," jawabku gugup.

"Hah? Sidane?" Eni terbelalak mendengar jawabanku. "Sidane yang kamu maksud itu di luar negeri?"

"Ni, bukan Sidane, tapi Sydney. Iya, di luar negeri, di Australi." Eni memandangku tak percaya ketika aku menyebutkan kata 'Australi'.

"Kit, boleh bercita-cita tinggi, tapi tau batasnya. Kita ini cuma pemetik teh. Gimana ceritanya bisa ke Australi. Paling tinggi cita-cita kita ya jadi juragan kebun teh."

Aku merenungi jawaban Eni. Kalau dilihat dari sisi ekonomi, memang mustahil. Aku hanyalah seorang pemetik teh. Tapi, bukanlah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini? Setidaknya selama masih logis.

"Berikutnya." Terdengar suara penimbang teh memanggil kami berdua. Rupanya Pak Bahri, penimbang teh, mendengar obrolan aku dan Eni,

"Kit, kamu yakin dengan omonganmu tadi?" Aku mengernyitkan dahiku. "Omongan apa Pak?"

Pak Bahri tersenyum simpul. "Itu, tentang kamu ingin sekolah ke Australi. Kamu yakin?"

Ditanya seperti itu, membuat perasaanku bimbang tak karuan. Aku diam tak bisa menjawab pertanyaan beliau.

"Kok diam?" tanya Pak Bahri tertawa kecil. "Kalau memang itu cita-citamu, kejarlah. kamu pasti bisa, dengan usaha, doa, dan keyakinan."

Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Perasaanku tak karuan. Perang batin. Apakah mungkin mimpi gila bagiku ini bisa kucapai? Setelah Eni selesai menimbang hasil petikan tehnya, aku dan Eni kembali ke rumah masing-masing.

Setibanya di rumah, tanpa basa-basi aku langsung masuk ke kamar. Sejenak menatap gambar Sydney Opera House yang kuambil dari koran dan kutempel di dinding kamar. Sudah cukup lama aku bermimpi dapat menginjakkan kaki di sana. Tanpa sadar pipiku basah akan air mataku. Ya, aku menangis. Aku ragu apakah aku bisa mengunjunginya, Sydney?

"Kit... Ukit... Kamu kenapa?" panggil Mbak Diah, kakakku. "Kit..." tukasnya sambil mengetuk pintu kamar.

Aku membuka pintu kamarku dan mempersilahkan Mbak Diah masuk. Mbak Diah menatapku heran. Mungkin lebih tepatnya menatap mataku yang sembab.

"Kamu nangis?" tanya Mbak Diah. Terpaksa aku tak bisa bohong. Mencari seribu alasan pun, Mbak Diah bukanlah orang yang mudah dibohongi. Dia sangat teliti.

"Kamu kenapa? Kalau memang ada masalah, kamu bisa cerita sama mbak. Itu kalau kamu mau."

Bagiku, Mbak Diah sosok kakak yang perhatian. Selain itu, dia tidak pernah memaksa dalam hal apapun. Seperti saat ini. Walaupun dia tahu aku ada masalah, tapi dia tak memaksaku untuk menceritakannya. Kalau mau silahkan, tidak juga tidak apa.

"Yaudah, apapun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu harus tegar. Jangan terlalu larut," nasihat Mbak Diah. "Oh iya hari ini kamu nggak sekolah?"

Aku menggeleng. Sebaiknya hari ini aku tidak sekolah dulu. Dalam keadaan seperti ini, aku butuh ketenangan.

"Tuh kan, baru aja dinasihatin," tanggap Mbak Diah. "Jangan jadikan masalah sebagai alasan penghambat kegiatanmu. Manfaatkan kesempatan yang ada. Kamu beruntung Kit, kamu bisa mengenyam pendidikan seperti sekarang. Mbak saja yang harusnya sudah tidak sekolah lagi, kalau ada kesempatan, mbak pasti terima. Walaupun umur mbak sudah lewat batas. Lagipula, mbak yakin, kamu pasti punya cita-cita kan?"

Pertanyaan itu seakan menusuk, melesat tepat ke jantungku. "Cita-citaku itu gila. Sangat gila."

Mbak Diah tertawa kecil mendengar jawabanku. "Cita-cita kok dibilang gila. Walaupun selama ini mbak diam, jangan kamu kira kalau mbak tak tau cita-citamu," katanya sambil menunjuk gambar di dinding. "Sydney Opera House. Itu kan cita-citamu?"

Aku tersenyum pesimis. Kutatap gambar itu dan ketika aku hendak merobeknya, Mbak Diah menahanku. "Kit, kalau memang itu cita-citamu, kejarlah."

"Tapi, mbak, mustahil untukku. Mustahil cita-cita itu untukku." Tangisku pecah. Aku tak dapat mengendalikan emosiku.

"Kit, di dunia ini nggak ada yang mustahil, selama masih masuk akal. Termasuk cita-citamu. Semua itu mungkin, kalau kita berusaha, berdoa, dan yakin. Cita-cita tinggi itu bukan hanya untuk orang tertentu. Cita-cita itu untuk semua orang, sekalipun orang desa seperti kita."

Suasana berubah hening di sela-sela aku dan Mbak diah beradu pendapat. "Mbak yakin kalau kamu bisa Kit. Berjuanglah." Mbak Diah keluar dari kamarku. Kini yang tersisa hanya aku dan emosiku.

Dalam keadaan setengah malas, aku bersiap-siap untuk sekolah. Apa yang dikatakan Mbak Diah jelas masih terngiang di pikiranku. Perang batinku semakin kuat. Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Aku menghela napas. Semoga aku bisa menjalaninya.

Kegiatan yang kujalani di sekolah biasa saja. Bagiku tak ada kesan menarik. Mungkin karena efek emosiku yang belum stabil. Beruntung, hari ini aku pulang cepat. Namun, sayang, Bu Risma, kepala sekolah memanggilku. Tadinya aku ingin menolak, tapi tidak sopan. Beruntung lagi, ternyata Bu risma tidak jadi memanggilku. Aku tak tahu alasannya apa, tapi yang jelas ini baik untukku. Setidaknya aku bisa mencari ketenangan.

Di tengah perjalan pulang, aku bertemu dua orang asing. Laki-laki dan perempuan. Kebetulan sekali, hanya aku yang ada di jalan itu, jadilah dua orang itu menghampiriku. Awalnya aku gugup, namun aku mencoba beranikan diri. Setidaknya aku bisa bahasa Inggris, walalupun hanya sedikit.

"Excuse me. Do you know where Harum Senior High School?" tanya perempuan asing itu.

SMA Harum? Itu sekolahku. "Ah, sure. That's my school."

"Ah, so, could you show the place?" tanya laiki-laki asing antusias.

"Let follow me," jawabku menunjukkan arahnya.

Sepanjang perjalanan aku berpikir. Baru kali ada orang asing yang berkunjung ke sekolahku. Ada perlu apa ya mereka dengan sekolahku. Semakin aku bertanya-tanya, semakin membuatku penasaran. Tanpa terasa, aku dan dua orang asing itu tiba di tempat tujuan.

"Oh, thanks a lot girl. You've helped us. Ah, I forgot. We didn't introduce before. I'm Jane," katanya sambil mengajak berjabat tangan.

"I'm Lukita. You can call me Ukit."

"Sorry, Ukeith? Isn't right?"

"No. Ukit. U-K-I-T. Ukit," kataku mengulang.

"Ukit, nice to meet you. And this is my friend, Clark."

"Hello, nice to meet you," katanya sambil menjabat tanganku. Aku membalasnya dengan senyum.

Tiba-tiba Bu Risma melihat aku, Jane, dan Clark di halaman sekolah. "Ukit, kamu belum pulang?"

"Belum, Bu. Tadi pas perjalanan pulang saya bertemu dua orang ini. Mereka ingin ke sini. Lalu saya tunjukan jalannya."

"Terimakasih Ukit. Oh iya, kamu tunggu di sini ya. Jangan pulang dulu," titah Bu Risma.

Aku terdiam di tepi halaman sekolah, tepatnya berteduh di bawah pohon jambu. Mataharinya terik sekali. Aku tenggelam dalam kesabaranku menunggu sampai akhirnya...

"Kit... Ukit... Bangun Kit," samar-samar suara Bu Risma terdengar di telingaku. Perlahan aku membuka mataku. Ya ampun! Aku ketiduran karena lelah menunggu.

"Ayo, ikut ke ruangan ibu. Ada hal penting yang ingin ibu bicarakan dengan kamu," ajak Bu Risma.

Sekarang aku berada di ruangan Bu Risma bersama Jane dan Clark. Ada hal penting apa yang dimaksud Bu Risma.

"Kit, sebelumnya ibu mengucapkan terimakasih. Dan yang terpenting kamu harus bersyukur Kit." Aku tak mengerti apa yang bu Risma bicarakan. Tiba-tiba saja Bu Risma menitikkan air matanya.

"Maksud Ibu apa? Maaf Bu, saya kurang mengerti."

"Ms. Jane, you could tell to her," jawab Bu Risma. Jane hanya tersenyum.

"Kit, kamu didaulat untuk menjadi perwakilan sekolah ke Australi, tepatnya Sydney."

Sekejap aku terdiam mendengarnya. Gempa parsial terjadi dalam diriku. Apa yang aku alami sekarang rasanya sebuah mimpi. Tanpa sadar aku menangis terharu. Benarkah ini? Benarkah apa yang kudengar? Benarkah apa yang kualami sekarang? Mimpikah ini? Atau kenyataan?

"Congratulation, Ukit," kata Jane disusul Clark. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dengan cepat aku pulang ke rumah dan memberitahu orang tuaku, termasuk Mbak Diah. Keluargaku tak percaya mendengarnya, begitupun aku, sampai saat ini aku masih tak percaya. Namun, inilah kenyataannya. Sydney yang dulu hanyalah mimpi bagiku, sekedar angan-angan, sekarang jadi kenyataan. Apa yang dikatakan Mbak Diah terbukti, bahwa cita-cita tinggu itu berlaku untuk semua orang, tak terkecuali orang desa sepertiku.

1 komentar: