Jumat, 03 Juli 2020

Every Road, Every Season

Saya baru menyempatkan diri - setelah sekian lama - membuka blog lagi. Rasanya sudah berdebu ya... Posting terakhir Januari 2019. Setelah itu lama menghilang...

Judul posting kali ini terinspirasi dari judul sebuah lagu. Sebenarnya lagunya kalau didengar langsung nggak semiris isi postingan kali ini sih, tapi berhubung judulnya sangat pas dengan kondisi sekarang, dipakailah...

Every road, every season...

Kalau menilik lagi ke belakang - jauh ke belakang - rasanya suka takjub dan nggak percaya dengan diri sendiri. Kalau dipikir-piki lagi, ternyata setiap proses kehidupan yang terjadi bisa terlewati juga. Mulai dari yang biasa-biasa saja, agak terjal, terjal, curam, menghantam... semua itu bisa terlewati walaupun saat mengalami pusing setengah mati. Hehehe...

Setiap hela napas mengisyaratkan banyak makna. Bisa lega, bisa juga lelah. Tergantung panjang hela napas sih. Saat berada dalam kondisi yang terjal bahkan menghantam, helaan napas saja tak cukup. Pengin teriak sejujurnya. Teriak sekencang-kencangnya hingga napas dan suara tak mampu lagi berteriak. Kurang lebih seperti itu analoginya. Setelah terlewati, terlintas di benak, "Loh... sudah selesai?". Sesungguhnya butuh proses panjang untuk sampai pada tahap loh-sudah-selesai.

Saya termasuk orang yang visual (bisa dikatakan seperti itu, sebenarnya saya merasa auditori). Setiap melintas atau singgah di suatu tempat, hal pertama yang muncul di pikiran adalah moment yang berkesan di tempat tersebut. Kalau moment-nya baik, it's okay. Nah, kalau kebalikannya... Rasanya mau menghilang saja. Hahaha...

Agak repot juga sih kalau tipenya seperti ini. Sekali-dua kali masih bisa ditolerir. Kalau berulang kali? Ya nggak mungkin juga ya setiap ada moment nggak enak, apalagi moment itu di rumah, ya masa mau menghilang juga dari rumah? Masa iya harus pindah rumah? Impossible...

Setelah melalui perjalanan panjang, saya menemukan solusinya. Saya mencoba menerima setiap moment dalam hidup saya, baik yang enak maupun tidak. Bagaimana cara menerimanya? Salah satunya berdialog dengan Tuhan. Saya mencoba terus memohon kelapangan serta keridaan untuk diri saya. Saya berharap dengan saya rida, maka Tuhan juga akan rida. Secara teori terlihat mudah, namun saat melakukan, butuh energi dan usaha yang besar. Sampai saat ini, saya juga masih dalam tahap belajar. Mudah-mudahan apa yang saya lakukan menghasilkan buah yang baik.

Rasa takut, was-was, tidak percaya diri, serta hal-hal negatif lainnya akan menghampiri diri. Siapa yang bisa melawan kalau bukan diri sendiri? Orang lain bahkan orang terdekat tidak akan mampu melawannya. Mereka hanya bisa memberi masukan dan pertimbangan, sedangkan keputusan ada di diri sediri. Apapun yang terjadi, cobalah untuk bertahan dan kuat. Tidak selalu kepahitan bersifat buruk. Ia juga bisa menjadi obat yang menyembuhkan lukamu dan guru yang membentuk dirimu kelak untuk menghadapi kerasnya dunia kehidupan. Tentu saja kerasnya dunia kehidupan bersifat relatif, tergantung subjeknya.

Semoga setiap diri diberikan kekuatan dalam menghadapi berbagai kepahitan yang menghampiri. Kepahitan ada untuk dihadapi, bukan untuk dibawa lari. Karena bisa jadi dari kepahitan itu setiap diri tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan tangguh.