Senin, 07 September 2020

Berdamai dan Mengasah Keyakinan

Luruh... Seluruh harapku...


Duh... kalau baca judulnya berat. Kalau baca kutipan awalnya nano-nano. Setidaknya begitu definisi kehidupan menurut sudut pandang saya saat ini.


Dengar lagu yang ada dikutipan mengingatkan saya masa-masa penelitian. Masa-masa di mana saya merasa di ambang dan banyak menghela napas, bahkan menitikkan air mata. Alhamdulillaah, masa-masa itu sudah terlewati. Sekarang, waktunya menyambut masa baru, namun rasa di batin tetap saja sama. Sulit memang kalau sudah melibatkan batin.

 

Ketika apa yang diinginkan tak melulu sesuai dengan kenyataan. Tentu saja - jika diminta memilih - saya memilih kenyataan. Simple, karena saya hidup dalam kenyataan, bukan angan-angan - walaupun sebenarnya di satu sisi berat meninggalkan impian yang telah ditata sejak lama. Rasanya memang itu salah satu seni hidup. Memilih apa yang harus dipilih, kemudian berdamai dan menjalani apa yang telah dipilih. Duh... berat bahasanya, hahaha.


Omong-omong tentang berdamai, menurut saya berdamai merupakan proses hidup yang berlangsung dan akan terus berlangsung seumur hidup. Terakhir merasakan berdamai sekitar dua tahun yang lalu. Berarti sekarang tidak berdamai? Tidak juga sih... Berdamai, namun menuju tingkat yang lebih (?). Entahlah, agak sulit jika diminta menjelaskan. Kalau berdasarkan yang dirasakan, mungkin bisa dibilang terus berproses untuk berdamai, karena tidak selalu hidup berjalan sesuai dengan rencana dan keinginan. Pada akhirnya, proses itu membawa saya untuk yakin bahwa rencana Sang Penguasa Alam Semesta lebih - bahkan paling - baik dan indah dari rencana siapapun, termasuk saya. Keterbatasan saya sebagai manusia yang membuat saya jarang menyadari hal itu.

 

Pun untuk meyakinkan diri, perlu terus diasah. Yakin. Memang kecil terlihatnya, namun ketika menjalankan, butuh usaha tak kecil seperti yang terlihat. Mengasah keyakinan pada Sang Pencipta untuk berusaha selalu dekat dengan-Nya. Kalau bukan yakin dengan-Nya, maka kepada siapa lagi harus yakin? Bukankah Dia pemilik bumi, langit, beserta isinya? Bukankah Dia yang mengurus dan menjamin segala sesuatu?

 

Sebuah tamparan dari diri sendiri untuk saya yang terus belajar mendewasakan diri dalam kehidupan.

Selasa, 01 September 2020

Secuil Cerita Tentang Kelulusan

Entah sudah berapa lama tidak bercerita. Setelah sekian waktu menulis ilmiah, rasanya rindu juga bercerita. Saya masih belum berani menjanjikan rubrik cerita di sini. Rubrik Song Fiction saja masih terbengkalai. Huhuhu...

Kali ini saya akan bercerita perjalanan kelulusan saya. Akhirnya... setelah bertahun-tahun, Alhamdulillaah bisa lulus walaupun di penghujung waktu. Setiap momen yang saya alami akan saya rindukan dan menjadi kenangan yang bisa saya ceritakan di masa depan. Kalau menilik lagi ke belakang, suka heran sendiri. Terlalui juga. Terlewati juga. Sampai juga. Rasanya...? Jangan ditanya. Seperti es campur. Bahagia, haru, sedih, nano-nano deh.

Sekarang, saatnya saya bilang pada diri sendiri,

"Welcome to the real life, Rei... Bisa yuk... Kuat yuk... Semangat Reicka!"

Harapan saya semoga bisa melalui setiap proses yang memang harus dijalani. Semoga diri ini diberikan kekuatan dalam keadaan apapun. Semoga diri ini semakin bijak menghadapi sesuatu dalam berbagai kondisi. Semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semoga...

Jumat, 03 Juli 2020

Every Road, Every Season

Saya baru menyempatkan diri - setelah sekian lama - membuka blog lagi. Rasanya sudah berdebu ya... Posting terakhir Januari 2019. Setelah itu lama menghilang...

Judul posting kali ini terinspirasi dari judul sebuah lagu. Sebenarnya lagunya kalau didengar langsung nggak semiris isi postingan kali ini sih, tapi berhubung judulnya sangat pas dengan kondisi sekarang, dipakailah...

Every road, every season...

Kalau menilik lagi ke belakang - jauh ke belakang - rasanya suka takjub dan nggak percaya dengan diri sendiri. Kalau dipikir-piki lagi, ternyata setiap proses kehidupan yang terjadi bisa terlewati juga. Mulai dari yang biasa-biasa saja, agak terjal, terjal, curam, menghantam... semua itu bisa terlewati walaupun saat mengalami pusing setengah mati. Hehehe...

Setiap hela napas mengisyaratkan banyak makna. Bisa lega, bisa juga lelah. Tergantung panjang hela napas sih. Saat berada dalam kondisi yang terjal bahkan menghantam, helaan napas saja tak cukup. Pengin teriak sejujurnya. Teriak sekencang-kencangnya hingga napas dan suara tak mampu lagi berteriak. Kurang lebih seperti itu analoginya. Setelah terlewati, terlintas di benak, "Loh... sudah selesai?". Sesungguhnya butuh proses panjang untuk sampai pada tahap loh-sudah-selesai.

Saya termasuk orang yang visual (bisa dikatakan seperti itu, sebenarnya saya merasa auditori). Setiap melintas atau singgah di suatu tempat, hal pertama yang muncul di pikiran adalah moment yang berkesan di tempat tersebut. Kalau moment-nya baik, it's okay. Nah, kalau kebalikannya... Rasanya mau menghilang saja. Hahaha...

Agak repot juga sih kalau tipenya seperti ini. Sekali-dua kali masih bisa ditolerir. Kalau berulang kali? Ya nggak mungkin juga ya setiap ada moment nggak enak, apalagi moment itu di rumah, ya masa mau menghilang juga dari rumah? Masa iya harus pindah rumah? Impossible...

Setelah melalui perjalanan panjang, saya menemukan solusinya. Saya mencoba menerima setiap moment dalam hidup saya, baik yang enak maupun tidak. Bagaimana cara menerimanya? Salah satunya berdialog dengan Tuhan. Saya mencoba terus memohon kelapangan serta keridaan untuk diri saya. Saya berharap dengan saya rida, maka Tuhan juga akan rida. Secara teori terlihat mudah, namun saat melakukan, butuh energi dan usaha yang besar. Sampai saat ini, saya juga masih dalam tahap belajar. Mudah-mudahan apa yang saya lakukan menghasilkan buah yang baik.

Rasa takut, was-was, tidak percaya diri, serta hal-hal negatif lainnya akan menghampiri diri. Siapa yang bisa melawan kalau bukan diri sendiri? Orang lain bahkan orang terdekat tidak akan mampu melawannya. Mereka hanya bisa memberi masukan dan pertimbangan, sedangkan keputusan ada di diri sediri. Apapun yang terjadi, cobalah untuk bertahan dan kuat. Tidak selalu kepahitan bersifat buruk. Ia juga bisa menjadi obat yang menyembuhkan lukamu dan guru yang membentuk dirimu kelak untuk menghadapi kerasnya dunia kehidupan. Tentu saja kerasnya dunia kehidupan bersifat relatif, tergantung subjeknya.

Semoga setiap diri diberikan kekuatan dalam menghadapi berbagai kepahitan yang menghampiri. Kepahitan ada untuk dihadapi, bukan untuk dibawa lari. Karena bisa jadi dari kepahitan itu setiap diri tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan tangguh.