Minggu, 16 September 2012

Welcome New Neighbor!

Today I'll share about my experience. Actually, it was happen yesterday. No, no, no, it was happen since I'm on 2nd grade in  elementary school.

Lanjut bahasa Indonesia aja ya. Bilingual.

Kemarin itu adalah hari plus plus bagi saya. Ada kabar gembira dan kabar buruk. Ya, diawali dari yang kabar gembira, sepupu saya telah melangsungkan pernikahannya kemarin. Congrats! Wish you will be a happy family. Sakinah, mawaddah, warahmah.

Nah, ini dia kabar buruknya. Saya kedatangan tetangga baru. Lho, kok kabar buruk sih? Ya, yang saya maksud tetangga baru di sini adalah bagian dari tetangga saya. Nah, bingung kan. Sama saya juga bingung.

Jadi maksudnya gini. Tetangga depan rumah saya punya peliharaan baru setelah hampir 4 tahun nggak punya peliharaan. Ya, terus apa hubungannya? Oke, perhatikan baik-baik.

Seandainya peliharaannya itu binatang lucu nan berbulu seperti kucing, dengan tangan terbuka dan senang hati saya menerimanya. Tapi, yang saya maksud peliharaan di sini itu... Doggy! Ya, you know what I mean. Ini mengingatkan saya akan pengalaman 10 tahun silam.

Pertama kali saya pindah ke rumah yang Alhamdulillah sampai sekarang saya tinggali, tetangga depan rumah memang memelihara doggy. Sebenarnya sih saya nggak masalah selama doggy itu nggak mengganggu dan nggak galak. Nah, yang jadi masalah, doggy itu setiap pagi gong-gong di depan rumah minta makan. Waktu itu sampai pernah masuk ke rumah. Bayangkan, coba bayangkan? Oke, seandainya doggy nggak najis (menurut ajaran agama), mungkin saya Insya Allah nggak takut. Tapi nggak jadi jaminan juga sih.

Nah, pengalaman yang nggak kalah manarik juga saya alami. Saat pulang sekolah, tak jarang doggy itu menghadang saya. Otomatis dengan begitu saya nggak bisa masuk ke rumah. Saat berangkat les, doggy itu mondar-mandir di depan rumah saya. Otomatis saya nggak bisa berangkat les. Kadang, kalau doggy itu terus mondar-mandir, saya memutuskan untuk nggak les alias bolos. Begitu juga saat pulang les. Waktu itu saya sampai pernah manjat pagar saking takutnya dikejar. Setelah doggy itu dipanggil sama tuannya, giliran saya yang nggak bisa turun. Memang dasarnya saya nggak bisa manjat.

Sebenarnya, warga sekitar lainnya juga menuai protes atas kelakuan si doggy itu. But my mother said, "Kayaknya doggy itu kurang dikasih makan deh. Kalo emang dia dikasih makan yang cukup, nggak mungkin sepatu kerja Ayah sama sendalmu digigit sampai robek. Terus, nggak mungkin juga dia ngacak-ngacak kantung semen yang ada di depan rumah, sampai semennya berkurang gitu. Mungkin dimakan."

Glek! Ya, begitulah...

Sampai akhirnya, saya patut untuk lega dan bersyukur, kalau doggy itu dibawa ke Medan, ikut pindah sama anak tuannya. Alhamdulillah... Akhirnya saya bukan anak rumahan lagi. Akhirnya saya bisa bebas. I'm free...

Setahun... Dua tahun... Tiga tahun... Hidup saya damai sentosa. Sampai klimaksnya adalah kemarin. Saya dan adik saya mendengar suara lolongan doggy. Ketika adik saya mengecek keluar rumah, lalu kembali masuk ke rumah. Dengan innocence face dia berkata, "Teh, tetangga depan kita pelihara doggy lagi."

Glek... Glek...! Haruskah pengalaman 10 tahun itu saya rasakan kembali? Bagaimana saya berangkat sekolah? Bagaimana saya pulang sekolah? Bagaimana saya pergi keluar rumah? Sepertinya saya akan menjadi anak rumahan setelah kejadian ini.

Positifnya, sudah kelas 12 supaya nggak banyak main. Negatifnya... Entahlah. Doakan saja semoga semuanya lancar.

2 komentar: