Kamis, 23 Mei 2013

Sepiring Pempek dan PTN

Halooo... Mohon maaf sebelumnya karena posting kali ini saya harus kebut. Maklum, setelah sejam menulis posting ini banyak pekerjaan menunggu...

Oke, kenapa posting ini saya beri judul Sepiring Pempek dan PTN? Ya, karena posting ini berdasarkan pengalaman saya.

Mungkin yang terlintas pertama kali dipikiran kalian apa hubungannya pempek sama PTN? Nggak, mereka nggak ada hubungan apa-apa kok, apalagi hubungan spesial, hahaha. Well, maksud saya memang sih nggak ada kaitannya, tapi berbeda dengan pengalaman saya.

Hm, jadi...

Jadi begini ceritanya. Di dekat sekolah saya itu ada tukang jualan pempek, tapi bukanya sore. Ya, memang suatu hal yang biasa sih, nothing special. Waktu saya kelas 11, jamannya masih pulang sore, saat itu saya merasa lapar dan tepatnya sedang menginginkan pempek. Sambil berjalan, saya melakukan dialog kecil dengan teman saya. Sebut saja Wi.

Saya: "Wi, laper nih."
Wi: "Reicka mau makan dulu?"

Saya berpikir sejenak lalu memutuskan...

Saya: "Nggak Wi. Udah sore juga, macet, nanti pulangnya jadi maghrib atau malem lagi."
Wi: "Beneran Reicka nggak mau makan dulu? Nanti sakit maag-nya kambuh gimana?"
Saya: "Ya Allah, jangan dong, WI, hahaha. Bismillah nggak apa-apa kok. Nanti aku beli cireng aja."
Wi: "Beneran nih nggak apa-apa?"
Saya: "Iya Wi, nggak apa-apa."

Saya pun berhasil meyakinkan Wi dan kami melanjutkan perjalanan kami. Setelah singgah sebentar untuk membeli cireng, sampailah kami terhenti di depan tukang jualan pempek tersebut.

Saya: "Wi, jadi kepengen pempek deh. Kapan-kapan beli yuk."
Wi: "Iya Rei, jadi ngiler nih ngeliatnya, hahaha. Tapi berapa ya Rei harganya?"

Terhenti pada pertanyaan itu, kami memutuskan untuk langsung pulang. Hingga pada akhirnya saya dan Wi memutuskan untuk makan pempek itu ketika kami duduk di bangku kelas 12. Ya, kadang kenyataan tak sesuai dengan harapan, mimpi makan pempek pun itu belum berhasil tercapai. Sampai akhirnya saya dan Wi membuat semacam kesepakatan baru lagi. Kami akan makan pempek ketika kami lulus UN dan mendapatkan PTN.
 
"Kapan ya kita bisa makan pempek yang di sana?" Pertanyaan Wi membuat saya perasaan saya tak karuan. Sedih. Kecewa. Mungkin...
 
Bagaimana tidak? Ketika kami hampir berhasil merealisasikan impian (yang menurut orang-orang kecil) besar kami, sementara ada hambatan dari salah satu di antara kami.

"Makan pempek yuk Wi." Tapi kemudian dia menjawab bahwa dia sedang krisis. Ketika sebaliknya dia mengajak, saya pun menjawab hal yang sama seperti dia menjawab ajakan saya di waktu itu.

Ketika kami berdua bisa, namun waktu menjadi faktor penghambat. Tugas serta ulangan yang menumpuk. Ya, wajar. Memang nasib pelajar.

Bahkan sampai sekarang, mimpi itu pun belum berhasil terwujud. Sepele? Kalian boleh menganggap ini hal sepele sambil tertawa. Silakan. Saya tidak melarang. Ya, sepele untuk kalian, tapi tidak untuk saya dan Wi. Mimpi yang menurut kalian sangat sepele, sangat kecil, bahkan begitu mudah untuk diwujudkan. Menurut kalian "Apa sih yang susah dari sekadar makan pempek?" Iya, bagi kalian itu sangatlah kecil. Tapi tidak untuk kami.

Silakan kalian tertawa sepuasnya ketika membaca posting konyol ini. Sekali lagi, tidak untuk saya dan Wi. Kalian tahu? Dari kejadian inilah saya, Wi, mungkin kita dapat mengambil pelajaran bahwa impian sekecil apapun itu, jika kalian ingin mewujudkannya dan merealisasikannya, makan berjuang dan berusaha. Mimpi kecil perkara makan pempek seperti ini saja butuh perjuangan, bagaimana mimpi besar? Think it!
 
 
 
 
RAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar