Sabtu, 27 Juli 2013

Bintang Kejora

Tepat hari ini kami - aku dan teman-temanku - merayakan hari jadi teman kami, Bintang. Nama lengkapnya Bintang Kejora. Perempuan yang memiliki kepribadian yang baik. Ramah, rendah hati, periang, dan tak pernah putus asa, itu sebagian kata sifat yang bisa mewakili untuk mendeskripsikannya.

Teras cafe yang cukup luas menjadi tempat berkumpulnya kami, para tamu undangan pesta ulang tahun Bintang. Gelak tawa memenuhi teras cafe. Sementara Bintang memisahkan diri dari kami. Dia berdiri di pojok teras. Tak seharusnya tuan pesta menyendiri seperti itu, pikirku. Aku memutuskan untuk keluar dari kerumunan dan menghampirinya.

Dia sadar akan kehadiranku menghampirinya.  Dia hanya tersenyum seraya menatap setengah putus asa ke langit.

"Vir," Bintang menyapaku membuka pembicaraan. "Kamu percaya bahwa takdir itu bisa diubah?"

Pertanyaan yang cukup membuatku terkejut. Apa maksudnya dia bertanya seperti itu.

"Aku percaya," jawabnya tanpa menunggu jawabanku. "Aku percaya bahwa takdir bisa diubah, tapi ada pengecualian."

Kali ini aku menanggapi perkataannya. "Pengecualian? Apa?"

"Kematian," jawabnya singkat. "Kita tak pernah tahu kapan kita akan mati."

"Kenapa kamu ngomong begitu, Bin?"

"Mereka yang di sana," katanya seraya menunjuk kerumunan orang yang berada di teras cafe. "Mereka nggak pernah tau keadaanku sebenarnya seperti apa. Aku hanya cerita ini ke kamu, Vir."

Aku hanya terdiam mendengar setiap perkataan Bintang. Responku juga hanya menganggukkan kepala.

"Dari kecil aku nggak pernah mengeluh apapun, bahkan rasa sakit yang aku rasakan. Ketika aku berumur 15 tahun, aku menjalani medical check up, dan ternyata aku baru tahu kalau ternyata aku positif mengidap kanker. Saat itu aku benar-benar shock, bahkan aku bingung bagaimana aku memberitahukan hal itu kepada orang tuaku." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkannya lagi. "Sekitar 3 bulan kemudian, orang tuaku baru tahu penyakit yang kuderita. Sama sepertiku, mereka juga shock mendengarnya. Tapi, akhirnya mereka bisa menerima kenyataan dan terus berusaha untuk menyembuhkan penyakitku. . Aku dan orag tuaku bersaha keras untuk lepas dari penyakit ini, namun pada akhirnya dokter menyerah dan memvonis kalau hidupku tidak lama lagi."

Aku terkejut dan terenyuh mendengar cerita Bintang. Aku menepuk bahunya, isyarat memberi motivasi untuknya.

Dia tersenyum. Tapi aku tau dibalik senyumnya itu ada rasa sedih yang mendalam. Belum pernah aku melihat Bintang seperti ini. Melihat sosok Bintang yang sebenarnya.

"Aku memang pesimis saat mendengar dokter memvonisku seperti itu. Tapi, bagaimanapun aku harus siap. Karena kematian itu pasti akan datang."

"Kamu pasti bisa kok lepas dari penyakit itu." Aku spontan mengeluarkan kalimat tersebut kepada Bintang.

Dia tersenyum lagi. "Iya, aku juga ingin lepas dari penyakit itu dan aku juga terus berusaha. Tapi kalau memang ajal menjemputku, aku hanya minta satu," katanya menghela napas. "Aku ingin seperti bintang. Sesuai dengan namaku, aku ingin terus menerangi kalian walau harus mengorbankan  diriku. Walau telah tiada, aku ingin dikenang orang banyak."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar